CV Nusa Cipta Indah berlokasi di Bengkulu, menjual bibit gaharu a.malaccensis. Bibit Gaharu a.malaccensis adalah salah satu jenis Bibit Gaharu yang dicari oleh banyak orang diseluruh Indonesia. CV NCI sudah lebih dari 5 (lima) tahun melakukan budidaya Bibit Gaharu a.malaccensis dan menjual bibit gaharu a.malaccensis untuk para pembudidaya Kayu Gaharu. CV NCI menyediakan dan menjual Bibit Gaharu dengan kualitas baik untuk tujuan pengiriman seluruh Indonesia.
Sudah Gaharu Cendana Pula . . . Kata kiasan ini sudah terkenal sejak dahulu. Memang sejak dahulu Gaharu sudah terkenal sebagai bahan wewangian. Sampai saat ini, gaharu
masih menjadi salah satu bahan baku yang dibutuhkan sebagai bahan baku
pembuatan minyak wangi di seluruh dunia. Sehingga permintaan Gaharu
selalu ada setiap masa.
Sebelum Kayu Gaharu diambil sebagai Bahan Baku, tentu saja hal utama yang penting diawal budidaya Gaharu adalah menyiapkan Bibit Gaharu yang baik dan berkualitas.
untuk itulah CV NCI berinisiatif untuk membudidayakan bibit gaharu
untuk memenuhi kebutuhan para petani Gaharu. Bila anda sedang mencari penjual bibit gaharu dengan kualitas bagus dan harga bersaing,
segera hubungi :
CV Nusa Cipta Indah
Jl Sumatera V / 16
Kota Bengkulu
Jl Sumatera V / 16
Kota Bengkulu
UP. Bambang Irawan
No HP : 0811 737528
Email : bambanggaharu@ymail.com / bambang@jualbibitgaharu.com
No HP : 0811 737528
Email : bambanggaharu@ymail.com / bambang@jualbibitgaharu.com
Lokasi Pembibitan Gaharu :
Desa Sukarami
Kecamatan Air Padang
Kabupaten Bengkulu Utara
Bengkulu
Desa Sukarami
Kecamatan Air Padang
Kabupaten Bengkulu Utara
Bengkulu
http://jualbibitgaharu.com/jual-bibit-gaharu.html
Profil
Bibit Gaharu
Gaharu sebenarnya merupakan substansi aromatik (aromatic resin)
yang berbentuk gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai
kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam kayu tertentu. Timbulnya
gaharu ini bersifat spesifik, dimana tidak semua pohon dapat
menghasilkan substansi aromatik ini.
Jenis-jenis pohon yang biasanya menghasilkan gaharu adalah pohon-pohon yang termasuk famili Thymelaeaceae yakni Gonystyloidae (antara lain Gonystylus spp.), Aquilarioideae (Aquilaria spp.), Thymelaeoidae (Enklea spp, serta Wikstroemia spp.), dan Gilgiodaphnoidae. Bahkan ada ahli yang berpendapat bahwa jenis Dalbergia parvifolia (famili Leguminoceae) dan Excoccaria agolocha (Euphorbiaceae) juga dapat menghasilkan gaharu. Akan tetapi jenis yang diketahui memiliki potensi penghasil gaharu tertinggi adalah Aquilaria malaccensis atau dikenal dengan nama daerah Karas, Alim, Garu, Kompe dan lain-lain.
Penyebaran alami marga Aquilaria sangat luas mulai dari
India, Pakistan, Myanmar, Thailand, Kamboja, Malaysia, Philipina dan
Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial) yang terdapat hampir di seluruh Nusantara, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Akan tetapi seiring dengan maraknya illegal logging dan
perburuan gaharu, pohon penghasil gaharu saat ini sangat jarang ditemui
di hutan bahkan telah termasuk jenis yang hampir punah oleh CITES.
HHBK Andalan
Gaharu dikenal karena memiliki aroma yang khas sehingga digunakan
untuk berbagai keperluan seperti parfum, pewangi ruangan, hio, obat, dan
sebagainya. Popularitas dan tingginya harga gaharu sudah dikenal lama.
Saat ini, harga gaharu kualitas super dapat mencapai Rp 5 juta per
kilogram, bahkan dapat mencapai US $ 10.000 per kg di tingkat pengguna
akhir. Di tingkat pengumpul di Kalimantan harga gaharu dapat mencapai
Rp. 600.000,- per kg.
Kontribusi gaharu terhadap perolehan devisa juga menunjukkan grafik
yang terus meningkat. Menurut BPS, nilai ekspor gaharu dari Indonesia
tahun 1990-1998 adalah sebesar US $ 2 juta, dan pada tahun 2000
meningkat menjadi US $ 2,2 juta. Namun sejak 2000 sampai akhir 2002,
ekspor menurun menjadi 30 ton dengan nilai US $ 600.000. Penurunan ini
disebabkan oleh semakin sulitnya gaharu ditemukan.
Mempertimbangkan harganya yang sangat istimewa bila dibandingkan
hasil hutan lainnya, gaharu dapat dikembangkan sebagai salah satu
komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) andalan alternatif untuk
penyumbang devisa sektor kehutanan selain dari hasil hutan kayu.
Budidaya Gaharu : Peningkatan Kelestarian Hutan
Nilai jual gaharu yang tinggi ini seharusnya dapat mendorong
masyarakat untuk membudidayakannya. Selama ini gaharu yang dipanen
umumnya berasal dari pohon gaharu yang tumbuh alami di hutan. Jika
dahulu masih terdapat kearifan tradisional dimana untuk menjamin
kelestarian pohon induknya, hanya bagian yang mengandung gaharunya saja
yang ditoreh tanpa menebang pohonnya, saat ini pemanenan dilakukan
dengan langsung menebang pohonnya. Akibatnya semakin sedikit pohon-pohon
induk gaharu yang terdapat di alam.
Walaupun tidak seorangpun yang meragukan prospek ekonominya, sejauh
ini upaya peremajaan dan budidaya gaharu belum begitu dikenal. Bukan
tidak ada penelitian yang menunjukkan besarnya peluang pengembanganya,
akan tetapi akibat lemahnya publikasi dan tindak lanjut terhadap hasil
penelitian tersebut menyebabkan usaha pengembangan gaharu sangat jauh
tertinggal dibandingkan jenis pohon lainnya, misalnya, jati emas atau
jati super yang didengung-dengungkan akan memberikan nilai ekonomi yang
cukup besar sehingga penanaman jenis ini mewabah di mana-mana, walaupun
kemudian penanaman jenis ini tidak direkomendasikan.
Penelitian Litbang Kehutanan dan lembaga riset lainnya menunjukkan
bahwa gaharu yang timbul disebabkan oleh terjadinya infeksi yang dialami
pohon gaharu tersebut. Para peneliti menduga terdapat tiga hal penyebab
proses infeksi, yaitu (1) infeksi jamur seperti Fusarium oxyporus, F. bulbigenium dan F. laseritium.,
(2) perlukaan dan (3) proses non-phatology. Terjadinya luka pada pohon
dapat mendorong munculnya proses penyembuhan yang akan menghasilkan
gaharu.
Penanaman dapat dilakukan pada lahan terbuka dengan sistem
monokultur, tetapi lebih disarankan dibawah tegakan seperti Sengon,
Petai, Gamal, dan Mahoni baik dengan sistem tumpang sari maupun
campuran. Pohon gaharu umumnya dapat ditanam pada lokasi dengan
ketinggian 5 – 700 mdpl dengan curah hujan 6 bulan dan sepanjang tahun
lebih disukai.
Tanaman gaharu dapat dipanen setelah berumur 9-10 tahun. Setelah
pohon berdiameter 10 cm (kira-kira pada umur 5 tahun), proses inokulasi
dapat dilakukan dengan cara (1) melukai bagian batang pohon, (2)
menyuntikkan mikroorganisme jamur Fusarium, (3) menyuntikkan
oli dan gula merah, atau dengan (4) memasukan potongan gaharu ke dalam
batang tanaman. Produksi gubal gaharu mulai terbentuk setelah satu bulan
penyuntikan dengan tanda-tanda pohon tampak merana, dedaunan menguning
dan rontok, kulit batang rapuh, jaringan kayu berwarna coklat tua dan
mengeras, dan jika dibakar akan mengeluarkan aroma khas mirip kemenyan.
Gaharu dapat dipanen 3 – 4 tahun kemudian.
Jumlah produksi gubal gaharu dapat beragam tergantung kualitas pohon
dan tempat tumbuhnya dengan rata-rata 2 kg per pohon. Dengan jarak tanam
3 x 3 m atau 1100 pohon per ha, maka akan dihasilkan sekitar 2 ton
gaharu/ha. Jika kita asumsikan bahwa gaharu yang dihasilkan hanya
kualitas rendah dengan harga Rp 250 – 300 ribu per kilo maka akan
diperoleh pendapatan Rp 550 – 660 juta per ha. Bagaimana jika dihasilkan
tersebut gaharu kualitas super dengan harga Rp 600 ribu pada pedagang
pengumpul ? Suatu jumlah yang sangat fantastis untuk usaha lebih kurang
10 tahun.
Terdapat berbagai pilihan untuk menggalakkan budidaya gaharu, antara
lain melalui (1) program hutan rakyat gaharu, dan (2) program hutan
kemasyarakatan. Dalam program hutan rakyat, masyarakat diharapkan secara
swadaya melakukan penanaman gaharu pada lahannya sendiri terutama pada
lahan kosong (tidak produktif). Agar masyarakat mau menanam gaharu,
selain informasi tentang peluang dan teknik pengembangan gaharu,
masyarakat juga harus diberikan insentif, seperti pengadaan bibit dan
inokulasi mikroorganisme penyebab gaharu. Pengadaan bibit dan inokulasi
dapat dilaksanakan oleh pemerintah yang kemudian disalurkan kepada
petani secara cuma-cuma atau dengan kredit. Dalam prakteknya
pengembangan hutan rakyat gaharu ini dapat dikombinasikan dengan tanaman
semusim atau tahunan.
Sedangkan penggalakan program hutan kemasyarakatan didasarkan pada paradigma pembangunan kehutanan community based development
yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam
sistem hutan kemasyarakatan, masyarakat diperbolehkan menanam gaharu
bersama-sama dengan tanaman pertanian dan kehutanan lainnya pada lahan
hutan, salah satunya dengan sistem agroforestry.
Berbagai praktek agroforestry menunjukkan bahwa sistem ini memberikan
dampak ganda berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat di satu sisi
dan kelestarian sumberdaya hutan dan lahan disisi lain. Selain
memperoleh kesejahteraan dari tanaman gaharu dan tanaman kehutanan,
masyarakat juga dapat memanfaatkan lahan diantara tanaman tersebut untuk
tanaman semusim. Teknik ini memberikan pengaruh positif terhadap
produktivitas tanah berupa meningkatnya ketersediaan unsur hara dan
bahan organik serta menurunnya kemasaman tanah. Teknik ini juga dapat
menekan laju erosi tanah sehingga juga cocok untuk menanggulangi lahan
kritis.
Adanya peningkatan kesejahteraan dari budidaya gaharu ini akan mengurangi tekanan masyarakat terhadap sumber hutan dalam bentuk illegal logging dan
perambahan lahan bahkan masyarakat secara sadar akan mempertahankan
setiap jengkal hutan dari kerusakan, apapun penyebabnya. Tentu saja agar
program penanaman gaharu ini berhasil perlu didukung dengan kelembagaan
dan peraturan yang jelas, serta dukungan semua pihak. Jadi mengapa kita tidak tanam gaharu?
http://jualbibitgaharu.com/bibit-gaharu
Budidaya Gaharu
Gaharu sebenarnya merupakan substansi aromatik (aromatic resin)
yang berbentuk gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai
kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam kayu tertentu. Timbulnya
gaharu ini bersifat spesifik, dimana tidak semua pohon dapat
menghasilkan substansi aromatik ini.
Jenis-jenis pohon yang biasanya menghasilkan gaharu adalah pohon-pohon yang termasuk famili Thymelaeaceae yakni Gonystyloidae (antara lain Gonystylus spp.), Aquilarioideae (Aquilaria spp.), Thymelaeoidae (Enklea spp, serta Wikstroemia spp.), dan Gilgiodaphnoidae. Bahkan ada ahli yang berpendapat bahwa jenis Dalbergia parvifolia (famili Leguminoceae) dan Excoccaria agolocha (Euphorbiaceae) juga dapat menghasilkan gaharu. Akan tetapi jenis yang diketahui memiliki potensi penghasil gaharu tertinggi adalah Aquilaria malaccensis atau dikenal dengan nama daerah Karas, Alim, Garu, Kompe dan lain-lain
Penyebaran alami marga Aquilaria sangat luas mulai dari
India, Pakistan, Myanmar, Thailand, Kamboja, Malaysia, Philipina dan
Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial) yang terdapat hampir di seluruh Nusantara, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Akan tetapi seiring dengan maraknya illegal logging dan
perburuan gaharu, pohon penghasil gaharu saat ini sangat jarang ditemui
di hutan bahkan telah termasuk jenis yang hampir punah oleh CITES
HHBK Andalan
Gaharu dikenal karena memiliki aroma yang khas sehingga digunakan
untuk berbagai keperluan seperti parfum, pewangi ruangan, hio, obat, dan
sebagainya. Popularitas dan tingginya harga gaharu sudah dikenal lama.
Saat ini, harga gaharu kualitas super dapat mencapai Rp 5 juta per
kilogram, bahkan dapat mencapai US $ 10.000 per kg di tingkat pengguna
akhir. Di tingkat pengumpul di Kalimantan harga gaharu dapat mencapai
Rp. 600.000,- per kg.
Kontribusi gaharu terhadap perolehan devisa juga menunjukkan grafik
yang terus meningkat. Menurut BPS, nilai ekspor gaharu dari Indonesia
tahun 1990-1998 adalah sebesar US $ 2 juta, dan pada tahun 2000
meningkat menjadi US $ 2,2 juta. Namun sejak 2000 sampai akhir 2002,
ekspor menurun menjadi 30 ton dengan nilai US $ 600.000. Penurunan ini
disebabkan oleh semakin sulitnya gaharu ditemukan.
Mempertimbangkan harganya yang sangat istimewa bila dibandingkan
hasil hutan lainnya, gaharu dapat dikembangkan sebagai salah satu
komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) andalan alternatif untuk
penyumbang devisa sektor kehutanan selain dari hasil hutan kayu
Budidaya Gaharu : Peningkatan Kelestarian Hutan
Nilai jual gaharu yang tinggi ini seharusnya dapat mendorong
masyarakat untuk membudidayakannya. Selama ini gaharu yang dipanen
umumnya berasal dari pohon gaharu yang tumbuh alami di hutan. Jika
dahulu masih terdapat kearifan tradisional dimana untuk menjamin
kelestarian pohon induknya, hanya bagian yang mengandung gaharunya saja
yang ditoreh tanpa menebang pohonnya, saat ini pemanenan dilakukan
dengan langsung menebang pohonnya. Akibatnya semakin sedikit pohon-pohon
induk gaharu yang terdapat di alam.
Walaupun tidak seorangpun yang meragukan prospek ekonominya, sejauh
ini upaya peremajaan dan budidaya gaharu belum begitu dikenal. Bukan
tidak ada penelitian yang menunjukkan besarnya peluang pengembanganya,
akan tetapi akibat lemahnya publikasi dan tindak lanjut terhadap hasil
penelitian tersebut menyebabkan usaha pengembangan gaharu sangat jauh
tertinggal dibandingkan jenis pohon lainnya, misalnya, jati emas atau
jati super yang didengung-dengungkan akan memberikan nilai ekonomi yang
cukup besar sehingga penanaman jenis ini mewabah di mana-mana, walaupun
kemudian penanaman jenis ini tidak direkomendasikan.
Penelitian Litbang Kehutanan dan lembaga riset lainnya menunjukkan
bahwa gaharu yang timbul disebabkan oleh terjadinya infeksi yang dialami
pohon gaharu tersebut. Para peneliti menduga terdapat tiga hal penyebab
proses infeksi, yaitu (1) infeksi jamur seperti Fusarium oxyporus, F. bulbigenium dan F. laseritium.,
(2) perlukaan dan (3) proses non-phatology. Terjadinya luka pada pohon
dapat mendorong munculnya proses penyembuhan yang akan menghasilkan
gaharu.
Penanaman dapat dilakukan pada lahan terbuka dengan sistem
monokultur, tetapi lebih disarankan dibawah tegakan seperti Sengon,
Petai, Gamal, dan Mahoni baik dengan sistem tumpang sari maupun
campuran. Pohon gaharu umumnya dapat ditanam pada lokasi dengan
ketinggian 5 – 700 mdpl dengan curah hujan 6 bulan dan sepanjang tahun
lebih disukai.
Tanaman gaharu dapat dipanen setelah berumur 9-10 tahun. Setelah
pohon berdiameter 10 cm (kira-kira pada umur 5 tahun), proses inokulasi
dapat dilakukan dengan cara (1) melukai bagian batang pohon, (2)
menyuntikkan mikroorganisme jamur Fusarium, (3) menyuntikkan
oli dan gula merah, atau dengan (4) memasukan potongan gaharu ke dalam
batang tanaman. Produksi gubal gaharu mulai terbentuk setelah satu bulan
penyuntikan dengan tanda-tanda pohon tampak merana, dedaunan menguning
dan rontok, kulit batang rapuh, jaringan kayu berwarna coklat tua dan
mengeras, dan jika dibakar akan mengeluarkan aroma khas mirip kemenyan.
Gaharu dapat dipanen 3 – 4 tahun kemudian.
Jumlah produksi gubal gaharu dapat beragam tergantung kualitas pohon
dan tempat tumbuhnya dengan rata-rata 2 kg per pohon. Dengan jarak tanam
3 x 3 m atau 1100 pohon per ha, maka akan dihasilkan sekitar 2 ton
gaharu/ha. Jika kita asumsikan bahwa gaharu yang dihasilkan hanya
kualitas rendah dengan harga Rp 250 – 300 ribu per kilo maka akan
diperoleh pendapatan Rp 550 – 660 juta per ha. Bagaimana jika dihasilkan
tersebut gaharu kualitas super dengan harga Rp 600 ribu pada pedagang
pengumpul ? Suatu jumlah yang sangat fantastis untuk usaha lebih kurang
10 tahun.
Terdapat berbagai pilihan untuk menggalakkan budidaya gaharu, antara
lain melalui (1) program hutan rakyat gaharu, dan (2) program hutan
kemasyarakatan. Dalam program hutan rakyat, masyarakat diharapkan secara
swadaya melakukan penanaman gaharu pada lahannya sendiri terutama pada
lahan kosong (tidak produktif). Agar masyarakat mau menanam gaharu,
selain informasi tentang peluang dan teknik pengembangan gaharu,
masyarakat juga harus diberikan insentif, seperti pengadaan bibit dan
inokulasi mikroorganisme penyebab gaharu. Pengadaan bibit dan inokulasi
dapat dilaksanakan oleh pemerintah yang kemudian disalurkan kepada
petani secara cuma-cuma atau dengan kredit. Dalam prakteknya
pengembangan hutan rakyat gaharu ini dapat dikombinasikan dengan tanaman
semusim atau tahunan.
Sedangkan penggalakan program hutan kemasyarakatan didasarkan pada paradigma pembangunan kehutanan community based development
yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam
sistem hutan kemasyarakatan, masyarakat diperbolehkan menanam gaharu
bersama-sama dengan tanaman pertanian dan kehutanan lainnya pada lahan
hutan, salah satunya dengan sistem agroforestry.
Berbagai praktek agroforestry menunjukkan bahwa sistem ini memberikan
dampak ganda berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat di satu sisi
dan kelestarian sumberdaya hutan dan lahan disisi lain. Selain
memperoleh kesejahteraan dari tanaman gaharu dan tanaman kehutanan,
masyarakat juga dapat memanfaatkan lahan diantara tanaman tersebut untuk
tanaman semusim. Teknik ini memberikan pengaruh positif terhadap
produktivitas tanah berupa meningkatnya ketersediaan unsur hara dan
bahan organik serta menurunnya kemasaman tanah. Teknik ini juga dapat
menekan laju erosi tanah sehingga juga cocok untuk menanggulangi lahan
kritis.
Adanya peningkatan kesejahteraan dari budidaya gaharu ini akan mengurangi tekanan masyarakat terhadap sumber hutan dalam bentuk illegal logging dan
perambahan lahan bahkan masyarakat secara sadar akan mempertahankan
setiap jengkal hutan dari kerusakan, apapun penyebabnya. Tentu saja agar
program penanaman gaharu ini berhasil perlu didukung dengan kelembagaan
dan peraturan yang jelas, serta dukungan semua pihak. Jadi mengapa kita tidak tanam gaharu?
0 komentar:
Posting Komentar