Info Gaharu
Budidaya Gaharu, Satu Pohoh Hasilkan Puluhan Juta
Media Track | Tue, Feb 17, 2009 at 13:07 | Kota Baru, Radar Banjarmasin
Mahalnya harga jual getah dan pohon gaharu saat ini membuat banyak
petani Kotabaru mulai tertarik untuk mengembangkan dan membudidayakan
pohon gaharu. Selain memiliki harga ekonomis yang tinggi, pohon gaharu
juga dapat tumbuh di kawasan hutan tropis. Pengembangan pohon gaharu
saat ini tak terlalu banyak dikenal orang. Hanya orang-orang tertentu
saja yang sudah mengembangkan dan menanam pohon ini. Padahal,
keuntungan dari bisnis pohon gaharu dapat mengubah tingkat
kesejahteraan warga hanya dalam waktu beberapa tahun.
Selain dapat tumbuh di kawasan hutan, pohon gaharu juga dapat tumbuh
di pekarangan warga. Karena itu sebenarnya warga memiliki banyak
kesempatan untuk menanam pohon yang menghasilkan getah wangi ini.
Banyaknya getah yang dihasilkan dari pohon gaharu tergantung dari masa
tanam dan panen pohon tersebut. Misalnya untuk usia tanam selama 9
sampai 10 tahun, setiap batang pohon mampu menghasilkan sekitar 2
kilogram getah gaharu.
Sementara harga getah gaharu mencapai Rp5-20 juta per kilogram. Harga
itu tergantung dari jenis dan kualitas getah gaharu. Untuk getah
gaharu yang memiliki kualitas rendah dan berwarna kuning laku dijual
Rp5 juta per Kg, sedangkan untuk getah pohon gaharu yang berwarga hitam
atau dengan kualitas baik laku dijual Rp15-20 juta per Kg.
Salah seorang petani Kotabaru yang sudah mengembangkan pohon gaharu
ini adalah Miran, warga Desa Langkang, Kecamatan Pulau Laut Timur.
Menurutnya, untuk menanam pohon gaharu dan menghasilkan banyak getah
diperlukan perawatan khusus.
Saat pohon gaharu berumur sekitar 5-8 tahun, pohon yang tumbuh
seperti pohon hutan alam itu perlu disuntik dengan obat pemuncul getah.
Setiap pohon diperlukan satu ampul dengan harga Rp300 ribu. Miran
mengaku, ia sudah menjual sekitar 50 batang pohon gaharu yang masih
berumur sekitar 1-3 tahun dengan nilai Rp19 juta. Ia juga telah menanam
500 batang pohon gaharu dengan umur satu tahun lebih dan tinggi sekitar
50 cm.
Karena memiliki sifat tumbuh yang tidak jauh beda dengan tanaman
hutan lainnya, setiap hektar lahan dapat ditanam sekitar 500 pohon
gaharu dengan jarak tanam sekitar 3-4 kali 6 meter.
Bibit pohon gaharu tersebut ia peroleh dari Samarinda, Kalimantan
Timur, yang sebelumnya dikembangkan dari Nusa Tenggara Timur (NTT).
Harga bibit dari Rp7.500 sampai Rp10.000 per pohon.
Untuk pemasaran tidak perlu repot, karena banyak pembeli yang siap
mendatangi mereka yang memiliki getah gaharu. Pengusaha transportasi itu
juga berharap usaha yang ia rintis dapat diikuti masyarakat dan petani
lain di Kotabaru. Apalagi bila mengingat masih banyak lahan tidur
dibiarkan terbengkalai mubazir.
“Jika lahan tidur di wilayah kita dikembangkan dengan menanam gaharu,
maka 10-15 tahun kemudian akan menghasilkan uang ratusan juta,” terang
Miran. Sebelumnya, Miran sudah mencoba beberapa tanaman kebun, namun
hasilnya tidak seperti menanam pohon gaharu. Dalam satu pohon usia
dewasa dapat menghasilkan uang puluhan juta rupiah,
Selain Miran banyak petani lain di Desa Betung, Langkang Lama,
Langkang Baru, Gunung Ulin dan Sebelimbingan yang mulai mengembangkan
kayu yang biasa diambil getahnya untuk bahan minyak dan bahan
obat-obatan tersebut.(Narullah)
GAHARU: HHBK yang Menjadi Primadona
Gaharu merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK)
yang cukup dapat diandalkan, khususnya apabila ditinjau dari harganya
yang sangat istimewa bila dibandingkan dengan HHBK lainnya. Nilai jual
yang tinggi dari gaharu ini mendorong masyarakat untuk
memanfaatkannya. Sebagai contoh, pada awal tahun 2001, di Kalimantan
Timur tepatnya di Pujangan (Kayan) harga gaharu dapat mencapai Rp.
600.000,- per kilogram . Pada tingkat eceran di kota-kota besar harga
ini tentunya akan semakin tinggi pula. Kontribusi gaharu terhadap
perolehan devisa juga menunjukkan grafik yang terus meningkat. Menurut
Balai Pusat Statistik, rata-rata nilai ekspor gaharu dari Indonesia
tahun 1990-1998 adalah sebesar US $ 2 juta, dan pada tahun 2000
meningkat menjadi US $ 2.2 juta.
Gaharu dikenal karena memiliki aroma yang khas dan dapat digunakan
untuk berbagai keperluan seperti parfum, pewangi ruangan, hio
(pelengkap sembahyang pemeluk agama Budha & Kong Hu Cu), obat, dan
sebagainya.
Masyarakat awam seringkali mengaburkan istilah gaharu dengan pohon
gaharu. Menurut SNI 01-5009.1-1999 gaharu didefinisikan sebagai sejenis
kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki
kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon
penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati sebagai akibat
dari suatu proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan
pada suatu jenis pohon, yang pada umumnya terjadi pada pohon Aquilaria sp. (Nama daerah: Karas, Alim, Garu dan lain-lain).
Gaharu diperdagangkan dalam berbagai bentuk, yaitu berupa bongkahan,
chips dan serbuk. Bentuk bongkahan dapat berupa patung atau bentuk
unik (natural sculpture) atau tanpa bentuk sama sekali.
Demikian pula warnanya, bervariasi mulai dari mendekati putih sampai
coklat tua atau mendekati kehitaman, tergantung kadar damar wangi yang
dikandungnya dan dengan sendirinya akan semakin wangi atau kuat aroma
yang yang ditimbulkannya. Umumnya warna gaharu inilah yang dijadikan
dasar dalam penentuan kualitas gaharu. Semakin hitam/pekat warnanya,
semakin tinggi kandungan damar wanginya, dan akan semakin tinggi pula
nilai jualnya. Umumnya semakin hitam/pekat warna gaharu, menunjukkan
semakin tinggi proses infeksinya, dan semakin kuat aroma yang
ditimbulkannya. Namun pedoman warna dan aroma ini tidaklah mutlak,
karena dalam kenyataannya, warna ini dapat diakali dengan penerapan
pewarna, sedangkan aroma dapat diakali dengan mencelupkan gaharu ke
dalam destilat gaharu. Sehingga hanya pedagang-pedagang yang sudah
berpengalaman dan sudah lama berkecimpung dalam perdagangan gaharu
sajalah yang dapat membedakan antara gaharu yang tinggi kualitasnya
dengan yang lebih rendah kualitanya (kemedangan).
Di Indonesia, gaharu yang diperdagangkan secara nasional masih dalam
bentuk bongkahan, chips ataupun serbuk gaharu. Masyarakat belum
tertarik untuk mengolah gaharu secara lebih lanjut, misalnya dalam
bentuk produk olahan seperti destilat gaharu, parfum, chopstick, dan
lain-lain, yang tentunya akan lebih meningkatkan nilai jualnya.
Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di daerah tropika dan memiliki marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus yang keseluruhannya termasuk dalam famili Thymelaeaceae. Marga Aquilaria
terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia mulai dari
India, Pakistan, Myanmar, Lao PDR, Thailand, Kamboja, China Selatan,
Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di
Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial). Keenam jenis tersebut terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Marga Gonystilus memiliki
20 spesies, tersebar di Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Peninsula,
Serawak, Sabah, Indonesia, Papua New Guinea, Philipina dan kepulauan
Solomon serta kepulauan Nicobar. Sembilan spisies diantaranya terdapat
di Indonesia yaitu: di Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku dan Irian
Jaya. Marga Gyrinops memiliki tujuh spesies. Enam diantaranya tersebar di Indonesia bagian timur serta satu spesies terdapat di Srilanka.
Penyebab timbulnya infeksi (yang menghasilkan gaharu) pada pohon
penghasil gaharu, hingga saat ini masih terus diamati. Namun, para
peneliti menduga bahwa ada 3 elemen penyebab proses infeksi pada pohon
penghasil gaharu, yaitu (1) infeksi karena fungi, (2) perlukaan dan (3)
proses non-phatology. Dalam grup yang pertama, Santoso (1996)
menyatakan telah berhasil mengisolasi beberapa fungi dari pohon Aquilaria spp. yang terinfeksi yaitu: Fusarium oxyporus, F. bulbigenium dan F. laseritium.
Pada kasus 2 dan 3 muncul hipotesis yang menyatakan bahwa perlukaan
pohon dapat mendorong munculnya proses penyembuhan yang menghasilkan
gaharu. Tetapi hipotesis inipun masih memerlukan pembuktian.
Kualita Gaharu Indonesia secara nasional telah ditetapkan dalam SNI
01-5009.1-1999 Gaharu. Dalam SNI tersebut kualita gaharu dibagi dalam
13 kelas kualitas yang terdiri dari :
- Gubal gaharu yang terbagi dalam 3 kelas kualita (Mutu Utama = yang setara dengan mutu super; mutu Pertama = setara dengan mutu AB; dan mutu Kedua = setara dengan mutu Sabah super),
- Kemedangan yang terbagi dalam 7 kelas kualita (mulai dari mutu Pertama = setara dengan mutu TGA/TK1 sampai dengan mutu Ketujuh = setara dengan mutu M3), dan
- Abu gaharu yang terbagi dalam 3 kelas kualita (mutu Utama, Pertama dan Kedua).
Pada kenyataannya dalam perdagangan gaharu, pembagian kualitas gaharu
tidak seragam antara daerah yang satu dengan yang lain, meskipun sudah
ada SNI 01-5009.1-1999 Gaharu. Sebagai contoh, di Kalimantan Barat
disepakati 9 jenis mutu yaitu dari kualitas Super A (terbaik) sampai
dengan mutu kemedangan kropos (terburuk). Sedangkan di Kalimantan Timur
dan Riau, para pebisnis gaharu menyepakati 8 jenis mutu, mulai dari
mutu super A (terbaik) sampai dengan mutu kemedangan (terburuk).
Penetapan standar di lapangan yang tidak seragam tersebut dimungkingkan
karena keberadaan SNI Gaharu sejauh ini belum banyak diketahui dan
dimanfaatkan oleh para pedagang maupun pengumpul. Disamping itu,
sebagaimana SNI-SNI hasil hutan lainnya, penerapan SNI Gaharu masih
bersifat sukarela (voluntary), dimana tidak ada kewajiban untuk memberlakukannya.
Pemanfaatan gaharu dari alam secara tradisional di Indonesia
(Kalimantan dan Sumatera), akan menjamin kelestarian pohon induknya,
yaitu hanya mengambil bagian pohon yang ada gaharunya saja tanpa harus
menebang pohonnya. Pemanenan Gaharu sebaiknya dari pohon-pohon
penghasil gaharu yang mempunyai diameter di atas 20 cm. Namun, sejalan
dengan meningkatnya permintaan pasar dan nilai jual dari gaharu,
masyarakat lokal telah mendapat pesaing dari pebisnis gaharu dari tempat
lain, sehingga mereka berlomba-lomba untuk berburu gaharu. Akibatnya,
pemanfaatan gaharu secara tradisional yang mengacu pada prinsip
kelestarian tidak dapat dipertahankan lagi. Hal ini berdampak, semakin
sedikitnya pohon-pohon induk gaharu. Bahkan di beberapa tempat, gaharu
telah dinyatakan jarang/hampir punah. Hal ini disebabkan oleh karena
penduduk tidak lagi hanya menoreh bagian pohon yang ada gaharunya,
tetapi langsung menebang pohonnya. Diameter pohon yang ditebangpun
menurun menjadi dibawah 20 cm, dan tentu saja kualita gaharu yang
diperolehpun tidak dapat optimal.
Akibat semakin langkanya tegakan pohon penghasil gaharu, dalam COP (Conference of Parties) ke – 9 CITES (Convention on the International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna)
di Fort Lauderdale, Florida, USA (7 – 18 Nopember 1994) para peserta
konferensi atas usulan India menerima proposal pendaftaran salah satu
spesies penghasil gaharu (A. malaccensis) dalam CITES Appendix
II. Dengan demikian dalam waktu 90 hari sejak penerimaan/penetapan
proposal tersebut, perdagangan spesies tersebut harus dilakukan dengan
prosedur CITES.
Namun masalahnya, hingga saat ini gaharu yang diperdagangkan dalam
bentuk bongkahan, chips, serbuk, destilat gaharu serta produk akhir
seperti chopstick, pensil, parfum, dan lain-lain tidak dapat/sulit
untuk dapat dibuktikan apakah gaharu tersebut dihasilkan oleh jenis A. malaccensis
ataukah dari spesies lain. Untuk mengatasi masalah ini, akhirnya
ditempuh kebijaksanaan bahwa baik negara pengekspor maupun penerima
tetap menerapkan prosedur CITES terhadap setiap produk gaharu, terlepas
apakah produk tersebut berasal dari spesies A. malaccensis
ataukah bukan. Hal ini dikarenakan sebagian besar populasi spesies
penghasil gaharu di alam sudah berada pada posisi terancam punah.
Dengan demikian diharapkan populasi spesies penghasil gaharu dapat
diselamatkan.
Mempertimbangkan nilai jual Gaharu, patut diupayakan peningkatan
peranan Gaharu sebagai komoditas andalan alternatif untuk penyumbang
devisa dari sektor kehutanan selain dari produk hasil hutan kayu.
Untuk mendapatkan manfaat nilai tambah maksimal dalam memanfaatkan
komoditas tersebut, perlu pembinaan kepada produsen di dalam negeri
untuk mengolah gaharu secara lebih lanjut, misalnya dalam bentuk produk
akhir (olahan) seperti destilat gaharu, parfum, chopstick, dan
lain-lain dengan nilai jual yang lebih tinggi. Disamping itu, untuk
mendorong keseragaman penetapan kualita di lapangan, keberadaan SNI
gaharu perlu disosialisasikan di kalangan para produsen, pedagang, dan
para konsumen. Lebih lanjut, untuk menjamin keberlanjutan pasokan
gaharu, perlu upaya pembinaan agar masyarakat memanen gaharu dengan
cara-cara yang mengindahkan kaidah-kaidah kelestarian. Akhirnya, untuk
menghindarkan kepunahan gaharu, maka aturan atau prosedur CITES dalam
perdagangan komoditas gaharu harus dilaksanakan secara konsekwen di
lapangan oleh para pihak yang berkepentingan.
Sumber Berita :
Standar Nasional Indonesia
SNI 01-5009.1-1999
SNI 01-5009.1-1999
Definisi
Gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang
khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi, berasal dari pohon
atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah
mati, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi baik secara alami
atau buatan pada pohon tersebut, dan pada umumnya terjadi pada pohon Aguilaria sp. (Nama daerah : Karas, Alim, Garu dan lain-lain).
Abu gaharu adalah serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses
penggilingan atau penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau
pengerokan.
Damar gaharu adalah sejenis getah padat dan lunak, yang berasal dari
pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, dengan aroma yang kuat, dan
ditandai oleh warnanya yang hitam kecoklatan.
Gubal gaharu adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon
penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang agak
kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitam-hitaman berseling
coklat.
Kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon
penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang
lemah, ditandai oleh warnanya yang putih keabu-abuan sampai
kecoklat-coklatan, berserat kasar, dan kayunya yang lunak.
Klasifikasi
Gubal gaharu dibagi dalam tanda mutu, yaitu :
- Mutu utama, dengan tanda mutu U, setara mutu super.
- Mutu pertama, dengan tanda mutu I, setara mutu AB.
- Mutu kedua, dengan tanda mutu II, setara mutu sabah super.
Kemedangan dibagi dalam 7 (tujuh) kelas mutu, yaitu :
- Mutu pertama, dengan tanda mutu I, setara mutu TGA atau TK I.
- Mutu kedua, dengan tanda mutu II, setara mutu SB I.
- Mutu ketiga, dengan tanda mutu III, setara mutu TAB.
- Mutu keempat, dengan tanda mutu IV, setara mutu TGC.
- Mutu kelima, dengan tanda mutu V, setara mutu M 1.
- Mutu keenam, dengan tanda mutu VI, setara mutu M 2.
- Mutu ketujuh, dengan tanda mutu VII, setara mutu M 3.
Abu gaharu dibagi dalam 3 (tiga) kelas mutu, yaitu :
- Mutu Utama, dengan tanda mutu U.
- Mutu pertama, dengan tanda mutu I.
- Mutu kedua, dengan tanda mutu II.
Cara Pemungutan
Gubal gaharu dan kemedangan diperoleh dengan cara menebang pohon
penghasil gaharu yang telah mati, sebagai akibat terjadinya akumulasi
damar wangi yang disebabkan oleh infeksi pada pohon tersebut.
Pohon yang telah ditebang lalu dibersihkan dan dipotong-potong atau
dibelah-belah, kemudian dipilih bagian-bagian kayunya yang telah
mengandung akumulasi damar wangi, dan selanjutnya disebut sebagai kayu
gaharu.
Potongan-potongan kayu gaharu tersebut dipilah-pilah sesuai dengan kandungan damarnya, warnanya dan bentuknya.
Agar warna dari potongan-potongan kayu gaharu lebih tampak, maka
potongan-potongan kayu gaharu tersebut dibersihkan dengan cara dikerok.
Serpihan-serpihan kayu gaharu sisa pemotongan dan pembersihan atau
pengerokan, dikumpulkan kembali untuk dijadikan bahan pembuat abu
gaharu.
Syarat Mutu
Persyaratan umum
Baik gubal gaharu maupun kemedangan tidak diperkenankan memiliki cacat-cacat lapuk dan busuk.
Persyaratan khusus
Persyaratan khusus mutu gaharu, dapat dilihat berturut-turut pada Tabel 1, 2 dan 3.
Tabel 1. Persyaratan Mutu Gubal Gaharu
No. | Karakteristik | M u t u | ||
U | I | II | ||
1. | Bentuk | - | - | - |
2. | Ukuran : p l t |
4 – 15 cm 2 – 3 cm > 0,5 cm |
4 – 15 cm 2 – 3 cm > 0,5 cm |
>15 cm - - |
3. | Warna | Hitam merata | Hitam kecoklatan | Hitam kecoklatan |
4. | Kandungan damar wangi | Tinggi | Cukup | Sedang |
5. | Serat | Padat | Padat | Padat |
6. | Bobot | Berat | Agak berat | Sedang |
7. | Aroma (dibakar) | Kuat | Kuat | Agak kuat |
Tabel 2. Persyaratan Mutu Kemedangan
No. | Karakteristik | M u t u | ||||||
I | II | III | IV | V | VI | VII | ||
1. | Warna | Coklat kehitaman | Coklat bergaris hitam | Coklat bergaris putih tipis | Kecoklatan bergaris putih tipis | Kecoklatan bergaris putih lebar | Putih keabu-abuan garis hitam tipis | Putih keabu-abuan |
2. | Kandungan damar wangi | Tinggi | Cukup | Sedang | Sedang | Sedang | Kurang | Kurang |
3. | Serat | Agak padat | Agak padat | Agak padat | Kurang padat | Kurang padat | Jarang | Jarang |
4. | Bobot | Agak berat | Agak berat | Agak berat | Agak berat | Ringan | Ringan | Ringan |
5. | Aroma (dibakar) | Agak kuat | Agak kuat | Agak kuat | Agak kuat | Kurang kuat | Kurang kuat | Kurang kuat |
Tabel 3. Persyaratan Mutu Abu Gaharu
No. | Karakteristik | M u t u | ||
U | I | II | ||
1. | Warna | Hitam | Coklat kehitaman | Putih kecoklatan/kekuningan |
2. | Kandungan damar wangi | Tinggi | Sedang | Kurang |
3. | Aroma (dibakar) | Kuat | Sedang | Kurang |
Pengambilan Contoh
Pengambilan contoh kayu atau abu gaharu untuk keperluan pemeriksaan
dilakukan secara acak, dengan jumlah contoh uji seperti tercantum pada
Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah Gaharu Contoh Uji
No. | Jumlah Populasi | Jumlah Contoh Uji |
1. 2. 3. |
<100 kg 100 – 1.000 kg > 1.000 kg |
15 gr 100 gr 200 gr |
Cara Uji Prinsip : Pengujian dilakukan secara kasat
mata (visual) dengan mengutamakan kesan warna dan kesan bau (aroma)
apabila dibakar.
Peralatan yang digunakan meliputi meteran, pisau, bara api, kaca pembesar (loupe) ukuran pembesaran > 10 (sepuluh) kali, dan timbangan.
Syarat pengujian
Kayu gaharu yang akan diuji harus dikelompokkan menurut sortimen
yang sama. Khusus untuk abu gaharu dikelompokkan menurut warna yang
sama.
Pengujian dilaksanakan ditempat yang terang (dengan pencahayaan yang
cukup), sehingga dapat mengamati semua kelainan yang terdapat pada
kayu atau abu gaharu.
Pelaksanaan pengujian
Penetapan jenis kayu
Penetapan jenis kayu gaharu dapat dilaksanakan dengan memeriksa ciri umum kayu gaharu.
Penetapan ukuran
Penetapan ukuran panjang, lebar dan tebal kayu gaharu hanya berlaku untuk jenis gubal gaharu.
Penetapan berat
Penetapan berat dilakukan dengan cara penimbangan, menggunakan satuan kilogram (kg).
Penetapan mutu
Penetapan mutu kayu gaharu adalah dengan penilaian terhadap ukuran,
warna, bentuk, keadaan serat, bobot kayu, dan aroma dari kayu gaharu
yang diuji. Sedangkan untuk abu gaharu dengan cara menilai warna dan
aroma.
- Penilaian terhadap ukuran kayu gaharu, adalah dengan cara mengukur panjang, lebar dan tebal, sesuai dengan syarat mutu pada Tabel 2.
- Penilaian terhadap warna kayu dan abu gaharu adalah dengan menilai ketuaan warna, lebih tua warna kayu, menandakan kandungan damar semakin tinggi.
- Penilaian terhadap kandungan damar wangi dan aromanya adalah dengan cara memotong sebagian kecil dari kayu gaharu atau mengambil sejumput abu gaharu, kemudian membakarnya. Kandungan damar wangi yang tinggi dapat dilihat dari hasil pembakaran, yaitu kayu atau abu gaharu tersebut meleleh dan mengeluarkan aroma yang wangi dan kuat.
- Penilaian terhadap serat kayu gaharu, adalah menilai kerapatan dan kepadatan serat kayu. Serat kayu yang rapat, padat, halus dan licin, bermutu lebih tinggi dari pada serat yang jarang dan kasar.
Penetapan mutu akhir
Penetapan mutu akhir didasarkan pada mutu terendah menurut salah satu persyaratan mutu berdasarkan karakteristik kayu gaharu.
Syarat Lulus Uji
Kayu gaharu atau abu gaharu yang telah diuji atau diperiksa,
dinyatakan lulus uji apabila memenuhi persyaratan mutu yang telah
ditetapkan.
Syarat Penandaan
Pada kemasan kayu atau abu gaharu yang telah selesai dilakukan pengujian harus diterakan:
- Nomor kemasan
- Berat kemasan
- Sortimen
- Mutu
- Nomor SNI
- Tanda Pengenal Perusahaan (TPP)
- Nomor kemasan
- Berat kemasan
- Sortimen
- Mutu
- Nomor SNI
- Tanda Pengenal Perusahaan (TPP)
Sumber Berita :
0 komentar:
Posting Komentar